Telah
lama ‘Nusantara’ menjadi sebutan yang popular untuk menunjukan kawasan
Indonesia saat ini. Sebuah kawasan yang terdiri dari beribu-ribu pulau
yang dihubungkan dengan laut dan sejak berabad-abad silam telah menjadi
jalur perdagangan laut internasioanl. Sebab posisinya sebagai bagian
jalur perdagangan ini, Nusantara memiliki akses yang mudah dengan dunia
luar serta tentu terlibat dalam interaksi internasional sehingga
mendapat banyak pengaruh dari peradaban sekitarnya.
Segenap
peradaban yang berdiri kokoh di luar akan masuk dan mengubah sistem
kehidupan di Nusantara. Tak terkecuali dengan peradaban Islam yang sejak
abad ke 6 M tengah tumbuh di Timur Tengah tepatnya di sebelah sisi
barat Nusantara. Interaksi Nusantara dengan kawasan Timur Tengah sudah
pernah ada sejak Islam pertama kali muncul. Pada awalnya interaksi
tersebut lebih berbentuk relasi ekonomi dan perdagangan, namun pada saat
Timur Tengah telah berada dalam kekuasaan Khilafah Islam, relasi
tersebut meluas menjadi relasi politik-keagamaan dan intelektual.
Makalah
ini akan membahas relasi politik-keagamaan antara penguasa pribumi
Nusantara dan penguasa Khilafah Islam ditinjau dari sudut Indonesia
sentris dan mengikuti pembabakan (kronologi) sejarah Indonesia.
Pembahasan tersebut akan dikupas sejauh sumber sejarah yang telah
penulis temukan dalam bentuk buku sekunder maupun jurnal ilmiah. Melalui
pembahasan ini diharapkan akan tergambar eksistensi dan pengaruh
Khilafah Islam dalam sejarah Indonesia, mengingat hal ini penting untuk
selalu diungkap pada saat ini untuk menghadang arus de-Islamisasi
sejarah Indonesia.
Korespondensi dan Pengakuan
Hubungan
antara Nusantara dengan Timur Tengah melibatkan sejarah yang panjang.
Kontak paling awal antara kedua wilyah ini, khususnya berkaitan dengan
perdagangan, bermula sejak masa Phunisia dan Saba’. Kehadiran Muslim
Timur Tengah ke Nusantara pada masa-masa awal pertama kali disebutkan
oleh agawan dan pengembara terkenal Cina, I-Tsing yang pada 51 H/617 M.
sampai ke Palembang yang merupakan ibu kota kerajaan Buddha Sriwijaya.
Mereka yang berada di Nusantara merupakan para pedagang yang kaya dan
memiliki kekuatan ekonomi. Dalam padangan Azyumardi Azra, interaksi
mereka di Palembang ini yang merupakan salah satu factor penting
pendorong raja Sriwijaya mengirim surat kepada Khalifah Bani Abasiyah.
Ketika Khilafah diperintah Bani Umayyah (660-749 M), sejumlah wilayah di Nusantara masih berada dalam kekuasaan Kerajaan Hindu-Budha . Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Budha di Nusantara yang tercatat memberikan pengakuan terhadap kebesaran Khalifah. Pengakuan ini dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirim oleh raja Sriwijaya kepada Khalifah di zaman Bani Umayyah. Surat pertama dikirim kepada Mu’awiyah, dan surat kedua dikirim kepada ‘Umar bin “Abd al-‘Aziz.
Surat pertama ditemui dalam sebuah diwan (sekretaris) Mua’awiyah dan memiliki gaya tipikal surat-surat resmi penguasa Nusantara. Diriwayatkan pembukaan surat tersebut:
“(Dari Raja al-Hind – atau tepatnya Kepulauan India) yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani seribu putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar (Batanghari dan Musi), yang mengairi pohon gahana (aloes), kepada Mu’awiyah…”
Surat kedua, yang mempunyai nada yang sama, jauh lebih lengkap. Surat yang ditunjukan kepada Khalifah ‘Umar bin “Abd al-‘Aziz itu menunjukkan betapa hebatnya Maharaja dan kerajaannya:
“Nu’aym bin Hammad menulis: “Raja al-Hind (Kepulauan) mengirim sepucuk surat kepada ‘Umar bin “Abd al-‘Aziz, yang berbunyi sebagai berikut: “Dari Raja Diraja (Malik al-Malik = maharaja); yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga adalah anak cucu seribu raja; yang dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wewangiannya sampai menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab (‘Umar bin “Abd al-‘Aziz), yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya (atau di dalam versi lain, yang akan menjelaskan Islam dan menjelaskannya kepada saya).”
Dari pemaparan di atas dapat dipahami Khilafah Islam telah menunjukan eksistensinya di Nusantara sejak masa Kerajaan Hindu-Budha atau sejak Khilafah itu sendiri kokoh menjadi Negara yang menaungi berbagai bangsa di dunia. Khilafah pun mendapatkan pengakuan dari raja Nusantara sehingga muncul ketertarikan mereka kepada dakwah Islam. Hal ini yang pada perkembangan selanjutnya menjadi faktor yang mengkonversi masyarakat di Nusantara terutama di para penguasanya menjadi masyarkat Muslim dan muncul pemerintahan baru bercorak kesultanan.
Ketika Khilafah diperintah Bani Umayyah (660-749 M), sejumlah wilayah di Nusantara masih berada dalam kekuasaan Kerajaan Hindu-Budha . Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Budha di Nusantara yang tercatat memberikan pengakuan terhadap kebesaran Khalifah. Pengakuan ini dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirim oleh raja Sriwijaya kepada Khalifah di zaman Bani Umayyah. Surat pertama dikirim kepada Mu’awiyah, dan surat kedua dikirim kepada ‘Umar bin “Abd al-‘Aziz.
Surat pertama ditemui dalam sebuah diwan (sekretaris) Mua’awiyah dan memiliki gaya tipikal surat-surat resmi penguasa Nusantara. Diriwayatkan pembukaan surat tersebut:
“(Dari Raja al-Hind – atau tepatnya Kepulauan India) yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani seribu putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar (Batanghari dan Musi), yang mengairi pohon gahana (aloes), kepada Mu’awiyah…”
Surat kedua, yang mempunyai nada yang sama, jauh lebih lengkap. Surat yang ditunjukan kepada Khalifah ‘Umar bin “Abd al-‘Aziz itu menunjukkan betapa hebatnya Maharaja dan kerajaannya:
“Nu’aym bin Hammad menulis: “Raja al-Hind (Kepulauan) mengirim sepucuk surat kepada ‘Umar bin “Abd al-‘Aziz, yang berbunyi sebagai berikut: “Dari Raja Diraja (Malik al-Malik = maharaja); yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga adalah anak cucu seribu raja; yang dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wewangiannya sampai menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab (‘Umar bin “Abd al-‘Aziz), yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya (atau di dalam versi lain, yang akan menjelaskan Islam dan menjelaskannya kepada saya).”
Dari pemaparan di atas dapat dipahami Khilafah Islam telah menunjukan eksistensinya di Nusantara sejak masa Kerajaan Hindu-Budha atau sejak Khilafah itu sendiri kokoh menjadi Negara yang menaungi berbagai bangsa di dunia. Khilafah pun mendapatkan pengakuan dari raja Nusantara sehingga muncul ketertarikan mereka kepada dakwah Islam. Hal ini yang pada perkembangan selanjutnya menjadi faktor yang mengkonversi masyarakat di Nusantara terutama di para penguasanya menjadi masyarkat Muslim dan muncul pemerintahan baru bercorak kesultanan.
Bahasa Politik Islam
Meskipun
wilayah Muslim Asia Tenggara scara kultural kurang ter-arabisasi, bahasa
Arab memainkan peran penting dalam kehidupan social keagamaan kaum
Muslim. Berbagai suku di Nusantara mengadupsi peritilahan Arab ke dalam
kehidupan mereka. Sejumlah kosakata Arab yang ‘diadopsi masyarakat
Nusantara berkaitan dengan permasalahan politik. Untuk menyebut contoh
misalkan, daulat, sultan, khalifah, baiat, tadbir, harb, jihad, aman,
majlis, musyawarah, hukum, qanun, dsb. Penggunaan kosakata politik Islam
dapat dipastikan menjadi meluas ketika institusi politik Islam mulai
berdiri pada akhir abad’ ke-13. Dengan konversi penguasa ke Islam,
entitas politik yang selama ini dikenal sebagai ‘kerajaan” kini secara
resmi disebut “kesultanan”.
Sejumlah penguasa Muslim di Nusantara mengusahakan legitimasi gelar sultan mereka dari penguasa politik dan keagamaan di Timur Tengah. Penguasa Banten, Abd al-Qadir (berkuasa 1625-1651), pada 1638 menerima anugerah gelar sultan dari Syarif Mekkah. Pangeran Rangsang, penguasa Mataram, pada 1641 mengirimkan utusan ke Hijaz menghadap Syarif Mekkah, tanpa banyak tanya Syarif langsung memberikan gelar sultan kepada Pangeran Rangsang, yang selanjutnya lebih terkenal sebagai Sultan Agung. Begitu pula Kesultanan Aceh, lalu Kesultanan Palembang dan Makassar, yang juga menjalin hubungan khusus dengan penguasa Mekkah.
Berbagai sumber telah menyebutkan tentang kegigihan sebagian penguasa Muslim Nusantara untuk mendapatkan gelar sultan dari Kekhilafahan Islam di Timur Tengah, yang diwakili oleh Syarif Mekkah. Hal ini bukan saja menunjukan hasrat kuat mereka agar mendapatkan legitimasi tetapi juga mengisyaratkan keinginan untuk mengasosiasikan diri dengan kekuasaan Khilafah Islam. Dengan kata lain, entitas dan Muslim polities di kawasan Nusantara ingin diakui sebagai bagian integral dari Daulah Islam. Contoh paling konkret adalah Aceh yang secara resmi menyatakan kepada penguasa Turki Usmani sebagai sebuah vassal state Kesultanan Utsmani.
Oleh karena itu konsep politik dan kekuasaan di Nusantara pada periode ini terkait erat dengan perkembangan Khilafah Islam di Timur Tengah. Konsep ini segera menemukan tempat yang signifikan dalam tradisi dan kultural politik di Nusantara. Untuk beberapa waktu kondisi ini tetap bertahan hingga kemudian paradigma politik Islam di kawasan Nusantara merosot setelah muncul periode kolonialisme di Nusantara yang diiringi penyebaran gagasan-gagasan dan konsep politik alaBarat, seperti Nasionalisme dan nation-state.
Sejumlah penguasa Muslim di Nusantara mengusahakan legitimasi gelar sultan mereka dari penguasa politik dan keagamaan di Timur Tengah. Penguasa Banten, Abd al-Qadir (berkuasa 1625-1651), pada 1638 menerima anugerah gelar sultan dari Syarif Mekkah. Pangeran Rangsang, penguasa Mataram, pada 1641 mengirimkan utusan ke Hijaz menghadap Syarif Mekkah, tanpa banyak tanya Syarif langsung memberikan gelar sultan kepada Pangeran Rangsang, yang selanjutnya lebih terkenal sebagai Sultan Agung. Begitu pula Kesultanan Aceh, lalu Kesultanan Palembang dan Makassar, yang juga menjalin hubungan khusus dengan penguasa Mekkah.
Berbagai sumber telah menyebutkan tentang kegigihan sebagian penguasa Muslim Nusantara untuk mendapatkan gelar sultan dari Kekhilafahan Islam di Timur Tengah, yang diwakili oleh Syarif Mekkah. Hal ini bukan saja menunjukan hasrat kuat mereka agar mendapatkan legitimasi tetapi juga mengisyaratkan keinginan untuk mengasosiasikan diri dengan kekuasaan Khilafah Islam. Dengan kata lain, entitas dan Muslim polities di kawasan Nusantara ingin diakui sebagai bagian integral dari Daulah Islam. Contoh paling konkret adalah Aceh yang secara resmi menyatakan kepada penguasa Turki Usmani sebagai sebuah vassal state Kesultanan Utsmani.
Oleh karena itu konsep politik dan kekuasaan di Nusantara pada periode ini terkait erat dengan perkembangan Khilafah Islam di Timur Tengah. Konsep ini segera menemukan tempat yang signifikan dalam tradisi dan kultural politik di Nusantara. Untuk beberapa waktu kondisi ini tetap bertahan hingga kemudian paradigma politik Islam di kawasan Nusantara merosot setelah muncul periode kolonialisme di Nusantara yang diiringi penyebaran gagasan-gagasan dan konsep politik alaBarat, seperti Nasionalisme dan nation-state.
Penjaga Perjalanan Haji Nusantara
Keberadaan
Turki Utsmani sebagai khilafah Islam, terutama setelah berhasil
melakukan futuhat atas Konstantinopel, ibu kota Romawi Timur, pada 857
H/1453 M, menyebabkan nama Turki melekat di hati umat Islam Nusantara.
Nama yang terkenal bagi Turki di Nusantara ialah “Sultan Rum.” Istilah
“Rum” tersebar untuk menyebut Kesultanan Turki Utsmani. Mulai masa ini,
supremasi politik dan kultural Rum (Turki Utsmani) menyebar ke berbagai
wilayah Dunia Muslim, termasuk ke Nusantara.
Kekuatan politik dan militer Khilafah Utsmaniyah mulai terasa di kawasan lautan India pada awal abad ke-16. Sebagai khalifah kaum Muslim, Turki Utsmani memiliki posisi sebagai khadimul haramayn (penjaga dua tanah haram, yakni Makkah dan Madinah). Pada posisi ini, para Sultan Utsmani mengambil langkah-langkah khusus untuk menjamin keamanan bagi perjalanan haji. Turki Utsmani mengamankan rute haji dari wilayah sebelah Barat Sumatera dengan menempatkan angkatan lautnya di Samudra Hindia. Kehadiran angkataan laut Utsmani di Lautan Hindia setelah 904 H/1498 M tidak hanya mengamankan perjalanan haji bagi umat Islam Nusantara, tetapi juga mengakibatkan semakin besarnya saham Turki dalam perdagangan di kawasan ini.
Bantuan Militer
Ketika Sultan Ala Al-Din Riayat Syah Al-Qahhar naik tahta di Aceh pada tahun 943 H/1537 M, ia kelihatan menyadari kebutuhan Aceh untuk meminta bantuan militer kepada Turki. Bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, tetapi juga untuk melakukan futuhat ke wilayah-wilayah yang lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak. Al-Kahar menggunakan pasukan Turki, Arab dan Abesinia. Pasukan Turki sebanyak 160 orang ditambah 200 orang tentara dari Malabar, mereka membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Selanjutnya dikerahkan Al-Kahhar untuk menaklukkan wilayah Batak di pedalaman Sumatera pada tahun 946 H/1539 M. Mendez Pinto, yang mengamati perang antara pasukan Aceh dengan Batak, melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando seorang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasya Utsmani di Kairo.
Nur Al-Din Al-Raniri dalam Bustan Al-Salathin meriwayatkan, Sultan Ala Al-Din Riayat Syah Al-Qahhar mengirim utusan ke Istanbul untuk menghadap “Sultan Rum”. Utusan ini bernama Huseyn Effendi yang fasih berbahasa Arab. Pada Juni 1562 M, utusan Aceh tersebut tiba di Istanbul untuk meminta bantuan militer Utsmani guna menghadapi Portugis. Ketika duta itu berhasil lolos dari serangan Portugis dan sampai di Istanbul, ia berhasil mendapat bantuan Turki, yang menolong Aceh membangkitkan kebesaran militernya sehingga memadai untuk menaklukkan Aru dan Johor pada 973 H/1564 M.
Hubungan Aceh dengan Turki Utsmani terus berlanjut, terutama untuk menjaga keamanan Aceh dari serangan Portugis. Penguasa Aceh berikutnya, Sultan Ala Al-Din Riayat Syah (988-1013 H/1588-1604 M) juga dilaporkan telah melanjutkan pula hubunghan politik dengan Turki. Dikatakan, Khilafah Utsmaniyah bahkan telah mengirimkan sebuah bintang kehormatan kepada Sultan Aceh, dan memberikan izin kepada kapal-kapal Aceh untuk mengibarkan bendera Turki.
Kekuatan politik dan militer Khilafah Utsmaniyah mulai terasa di kawasan lautan India pada awal abad ke-16. Sebagai khalifah kaum Muslim, Turki Utsmani memiliki posisi sebagai khadimul haramayn (penjaga dua tanah haram, yakni Makkah dan Madinah). Pada posisi ini, para Sultan Utsmani mengambil langkah-langkah khusus untuk menjamin keamanan bagi perjalanan haji. Turki Utsmani mengamankan rute haji dari wilayah sebelah Barat Sumatera dengan menempatkan angkatan lautnya di Samudra Hindia. Kehadiran angkataan laut Utsmani di Lautan Hindia setelah 904 H/1498 M tidak hanya mengamankan perjalanan haji bagi umat Islam Nusantara, tetapi juga mengakibatkan semakin besarnya saham Turki dalam perdagangan di kawasan ini.
Bantuan Militer
Ketika Sultan Ala Al-Din Riayat Syah Al-Qahhar naik tahta di Aceh pada tahun 943 H/1537 M, ia kelihatan menyadari kebutuhan Aceh untuk meminta bantuan militer kepada Turki. Bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, tetapi juga untuk melakukan futuhat ke wilayah-wilayah yang lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak. Al-Kahar menggunakan pasukan Turki, Arab dan Abesinia. Pasukan Turki sebanyak 160 orang ditambah 200 orang tentara dari Malabar, mereka membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Selanjutnya dikerahkan Al-Kahhar untuk menaklukkan wilayah Batak di pedalaman Sumatera pada tahun 946 H/1539 M. Mendez Pinto, yang mengamati perang antara pasukan Aceh dengan Batak, melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando seorang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasya Utsmani di Kairo.
Nur Al-Din Al-Raniri dalam Bustan Al-Salathin meriwayatkan, Sultan Ala Al-Din Riayat Syah Al-Qahhar mengirim utusan ke Istanbul untuk menghadap “Sultan Rum”. Utusan ini bernama Huseyn Effendi yang fasih berbahasa Arab. Pada Juni 1562 M, utusan Aceh tersebut tiba di Istanbul untuk meminta bantuan militer Utsmani guna menghadapi Portugis. Ketika duta itu berhasil lolos dari serangan Portugis dan sampai di Istanbul, ia berhasil mendapat bantuan Turki, yang menolong Aceh membangkitkan kebesaran militernya sehingga memadai untuk menaklukkan Aru dan Johor pada 973 H/1564 M.
Hubungan Aceh dengan Turki Utsmani terus berlanjut, terutama untuk menjaga keamanan Aceh dari serangan Portugis. Penguasa Aceh berikutnya, Sultan Ala Al-Din Riayat Syah (988-1013 H/1588-1604 M) juga dilaporkan telah melanjutkan pula hubunghan politik dengan Turki. Dikatakan, Khilafah Utsmaniyah bahkan telah mengirimkan sebuah bintang kehormatan kepada Sultan Aceh, dan memberikan izin kepada kapal-kapal Aceh untuk mengibarkan bendera Turki.
Pan-Islamisme di Nusantara
Di
saat Khilafah Islamiyah berada pada masa sulit, di mana beberapa
daerahnya mulai hendak diduduki oleh kaum penjajah, muncullah upaya
untuk terus mengokohkan persatuan Islam yang dimotori oleh Sultan Abdul
Hamid II. Beliau menyatakan, “Kita wajib menguatkan ikatan kita dengan
kaum Muslim di belahan bumi yang lain. Kita wajib saling mendekat dan
merapat dalam intensitas yang sangat kuat. Sebab, tidak ada harapan lagi
di masa depan kecuali dengan kesatuan ini.” Inilah gagasan yang kelak
dikenal sebagai Pan-Islamisme. Upaya penguatan kesatuan Islam pun sampai
ke Indonesia (Hindia Belanda).
Upaya pengokohan penyatuan ini terus dilakukan. Hingga tahun 1904 telah ada 7 sampai 8 konsul (‘utusan’ pen.) yang pernah ditempatkan Khilafah Utsmaniyah di Hindia Belanda. Diantara aktivitas para konsul ini adalah membagi-bagikan mushaf al-Quran atas nama sultan, dan pencetakan karya-karya theologi Islam dalam bahasa Melayu yang dicetak di Istambul. Di antara kitab tersebut adalah tafsir al-Quran yang di halaman judulnya menyebut “Sultan Turki Raja semua orang Islam”. Istilah Raja di sini sebenarnya mengacu pada kata al-Malik yang berarti penguasa, dan semua orang Islam mengacu pada istilah Muslimin. Jadi, sebutan tersebut menunjukkan deklarasi dari sang Khalifah bahwa beliau adalah penguasa kaum Muslim sedunia. Hal ini menunjukkan bahwa khilafah Utsmaniyah terus berupaya untuk menyatukan kesultanan Melayu ke dalamnya, termasuk melalui penyebaran al-Quran.
Sebagai respon terhadap gerakan penyatuan Islam oleh Khilafah Utsmaniyah ini, di Hindia Belanda terdapat beberapa organisasi pergerakan Islam di Hindia Belanda yang mendukung gerakan tersebut. Abu Bakar Atjeh menyebutkan di antara organisasi tersebut adalah Jam’iyat Khoir yang didirikan pada 17 Juli 1905 oleh keturunan Arab. Karangan-karangan pergerakan Islam ini di Hindia Belanda dimuat dalam surat-surat kabar dan majalah di Istambul, di antaranya majalah Al-Manar. Khalifah Abdul Hamid II yang tinggal di Istambul pun pernah mengirimkan utusannya ke Indonesia, bernama Ahmed Amin Bey, atas permintaan dari perkumpulan tersebut untuk menyelidiki keadaan kaum Muslim di Indonesia. Akibatnya, pemerintah kolonial Hindia Belanda menetapkan pelarangan bagi orang-orang Arab mendatangi beberapa daerah tertentu.
Organisasi pergerakan Islam lain yang muncul sebagai respon positif terhadap penyatuan ini adalah Sarikat Islam. Peristiwa dikibarkannya bendera Turki Utsmani pada Kongres Nasional Sarikat Islam di Bandung pada tahun 1916, sebagai simbol solidaritas sesama muslim dan penentangan terhadap penjajahan, menunjukkan hal tersebut. Pada masa itu, salah satu usaha yang dilakukan Khilafah Ustmaniyah adalah menyebarkan seruan jihad dengan mengatasnamakan khalifah kepada segenap umat Islam, termasuk Indonesia, yang dikenal sebagai Jawa.
Upaya pengokohan penyatuan ini terus dilakukan. Hingga tahun 1904 telah ada 7 sampai 8 konsul (‘utusan’ pen.) yang pernah ditempatkan Khilafah Utsmaniyah di Hindia Belanda. Diantara aktivitas para konsul ini adalah membagi-bagikan mushaf al-Quran atas nama sultan, dan pencetakan karya-karya theologi Islam dalam bahasa Melayu yang dicetak di Istambul. Di antara kitab tersebut adalah tafsir al-Quran yang di halaman judulnya menyebut “Sultan Turki Raja semua orang Islam”. Istilah Raja di sini sebenarnya mengacu pada kata al-Malik yang berarti penguasa, dan semua orang Islam mengacu pada istilah Muslimin. Jadi, sebutan tersebut menunjukkan deklarasi dari sang Khalifah bahwa beliau adalah penguasa kaum Muslim sedunia. Hal ini menunjukkan bahwa khilafah Utsmaniyah terus berupaya untuk menyatukan kesultanan Melayu ke dalamnya, termasuk melalui penyebaran al-Quran.
Sebagai respon terhadap gerakan penyatuan Islam oleh Khilafah Utsmaniyah ini, di Hindia Belanda terdapat beberapa organisasi pergerakan Islam di Hindia Belanda yang mendukung gerakan tersebut. Abu Bakar Atjeh menyebutkan di antara organisasi tersebut adalah Jam’iyat Khoir yang didirikan pada 17 Juli 1905 oleh keturunan Arab. Karangan-karangan pergerakan Islam ini di Hindia Belanda dimuat dalam surat-surat kabar dan majalah di Istambul, di antaranya majalah Al-Manar. Khalifah Abdul Hamid II yang tinggal di Istambul pun pernah mengirimkan utusannya ke Indonesia, bernama Ahmed Amin Bey, atas permintaan dari perkumpulan tersebut untuk menyelidiki keadaan kaum Muslim di Indonesia. Akibatnya, pemerintah kolonial Hindia Belanda menetapkan pelarangan bagi orang-orang Arab mendatangi beberapa daerah tertentu.
Organisasi pergerakan Islam lain yang muncul sebagai respon positif terhadap penyatuan ini adalah Sarikat Islam. Peristiwa dikibarkannya bendera Turki Utsmani pada Kongres Nasional Sarikat Islam di Bandung pada tahun 1916, sebagai simbol solidaritas sesama muslim dan penentangan terhadap penjajahan, menunjukkan hal tersebut. Pada masa itu, salah satu usaha yang dilakukan Khilafah Ustmaniyah adalah menyebarkan seruan jihad dengan mengatasnamakan khalifah kepada segenap umat Islam, termasuk Indonesia, yang dikenal sebagai Jawa.
Respon atas Keruntuhan Khilafah
Pada
permulaan tahun 1920 Khilafah Usmani menemui babak baru. Setelah Turki
dikuasai Musatafa Kemal, Turki diubah menjadi sebuah negara republic
yang sekuler dan tidak hanya itu bahkan ia mengumumkan penghapusan
kekhilafahan Islam di Turki. Peristiwa tersebut segera mengejutkan dunia
Islam dan membawa respon sejumlah umat Islam untuk mewujudkan kembali
Khilafah Islam yang akan menyatukan mereka dan menerapkan hukum-hukum
Islam. Oleh karenanya di berbagai tempat, termasuk di Nusantara, mulai
dibicarakan ide pernegakkan khilafah kembali.
Eksistensi sejarah umat Islam Nusantara dalam memperjuangkan khilafah telah diamini oleh para sejarawan Indonesia maupun Barat. Diantaranya adalah apa yang dinyatakan oleh Prof. Deliar Noer, Prof. Aqib Suminto, dan Martin van Bruinessen dalam tulisan akademis mereka. Deliar Noer dalam disertasinya, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942 (Cornell University, 1962), menyatakan bahwa umat Islam di Indonesia tidak hanya berminat dalam masalah khilafah, tetapi juga merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Lalu Aqib Suminto dalam disertasinya, Politik Islam Hindia Belanda (IAIN Jakarta, 1985), menuturkan tentang pengaruh Pan-Islamisme di Indonesia dalam perjuangan khilafah saat itu. Dia menyatakan ada kaitan yang erat antara paham Pan-Islamisme dan jabatan Khalifah karena Khalifah merupakan simbol persatuan ummat Islam di seluruh belahan dunia. Hal senada juga diungkapkan oleh seorang orientalis Belanda, Martin van Bruinessen, dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul Muslim of Dutch East Indies and The Caliphate Question (Studia Islamika, 1995). Peristiwa penghapusan Turki Usmani yang kemudian disusul seruan ulama al-Azhar untuk memilih khalifah baru, dan penaklukan Hijaz oleh Ibn Sa’ud, mendapatkan antusiasme yang sangat besar dari umat Islam Indonesia sehingga menimbulkan pergerakan yang masif di Indonesia. Menurut arsip Pemerintah Kerajaan Belanda, seperti dikutip van Bruinessen, hal itu bahkan dianggap sebagai “sebuah tonggak bersejarah dalam pergerakan umat Islam di negeri ini”.
Dalam dinamika sejarah umat Islam di Indonesia pada permulaan abad ke-20, terlihat bahwa perjuangan khilafah merupakan bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Tidak lama setelah Khilafah Turki Usmani diruntuhkan, sejumlah besar dari bangsa Indonesia yang terdiri dari para ulama, tokoh pergerakan Islam, serta elemen ummat Islam lainnya terlibat dalam perjuangan ini. Mereka merasa berkewajiban untuk memperbincangkan dan mencari penyelesaian dalam rangka membentuk khilafah baru.
Pada Desember 1924 di Surabaya diadakan sebuah pertemuan yang dikenal denganKongres Al-Islam Luar Biasa. Kongres ini memang sangat luar biasa karena dihadiri oleh 68 organisasi Islam yang mewakili pusat maupun cabang juga dihadiri ulama-ulama dan ribuan umat Islam yang lain. Mereka yang hadir menyepakati sebuah rumusan khilafah yang baru. Rumusan tersebut yakni:
1. Agar dibentuk suatu Majelis Khilafah yang melaksanakan kekuasaan dan kewajiban khalifah atas dasar hukum-hukum Qur’an dan Hadits
2. Kepala Majelis mengatur, menjaga, dan mengupayakan terlaksananya keputusan-keputusan Majelis
3. Kepala Majelis dipilih oleh Majelis berdasrkan Syari’ah yang disetujui atasnya dalam permusyawaratan khilafah kemudian pemilihan tersebut diumumkan agar mendapat pengakuan dari seluruh umat Islam di dunia
4. Majelis Khilafah mengupayakan persamaan paham dan peraturan bagi segala perkara hukum Islam
5. Majelis Khilafah hendaklah berada di Mekkah
6. Tentang biaya untuk Majelis Khilafah bersama-sama perlu ditemukan kesepakatan dengan umat Islam yang lain atas hal ini.
Sikap mereka ini tidak terlepas dari pengaruh Pan-Islamisme. Cita-cita persatuan Islam dalam satu pemerintahan Islam yang merdeka menjadi sebuah harapan besar bagi mereka yang saat itu hidup dibawah penjajahan bangsa asing dan kafir. Untuk beberapa waktu cita-cita internasional ini masih tetap bertahan hingga kemudian mereka melupakannya dan mengalihkan perhatian mereka kepada cita-cita nasionalisme yakni menuju negara bangsa yang merdeka. Sejak saat itu perjuangan khilafah berangsur-angsur hilang tergantikan oleh perjuangan nasionalisme.
Dilupakannya persoalan khilafah oleh ummat Islam Indonesia dikarenakan terjadinya perubahan orientasi perjuangan sejumlah pergerakan pada masa itu. NU, Muhammadiyyah, dan Al-Irsyad lebih memfokus perjuangan mereka ke bidang sosial dan pendidikan. Selain itu, perselisihan paham yang telah lama terjadi di antara kelompok pembaharu yang diwakili Muhamadiyyah dan Al-Irsyad, dengan kelompok tradisional (NU), kian meruncing sehingga persoalan khilafah yang semula menjadi perjuangan bersama pada akhirnya ditinggalkan.
Penyebab yang lain, Sarekat Islam yang paling konsen dalam menjaga persatuan umat Islam di Indonesia sudah tidak berkharisma lagi dihadapan umat Islam yang lain setelah Sarekat Islam justru ikut terjerat dalam perselisihan internal umat Islam. Sejak saat itu perjuangan Sarekat Islam sudah tidak lagi mewakili aspirasi politik umat Islam di Indonesia. Mereka juga tidak bisa lagi mengklaim sebagai pelopor gerakan nasional setelah ada PNI yang menggantikan posisi mereka dengan gagasan nasionalismenya. Selain itu sokongan dunia Islam terhadap persoalan khilafah yang menghilang, akibat konspirasi Barat, mengakibatkan Sarekat Islam meninggalkan perjuangan khilafah dan mengalihkannya pada perjuangan Islam dalam konteks kebangsaan.
Setelah menelusuri realita Sejarah Indonesia, dapat ditemui ternyata Nusantara memiliki hubungan yang panjang dan luas dengan kekuasaan Khilafah di Timur Tengah. Pada setiap pembabakan Sejarah Indonesia didapati bahwa Khilafah Islam memiliki pengaruh politik-keagamaan di Nusantara. Pada zaman kerajaan Hindu-Budha ternyata Khilafah mendapat pengakuan dari raja-raja. Kemudian pada zaman Kesultanan, banyak penguasa Muslim yang mengidentikan kekuasaan mereka dengan Khilafah Islam. Pada zaman penjajahan Eropa, militer Khilafah telah sampai di Nusantara dan membantu Muslim Nusantara melawan serangan Eropa. Terlebih pada saat zaman pergerakan nasional, pengaruh Pan-Islamisme yang dicetuskan Sultan Abdul Hamid telah menggerakan Muslim di Nusantara dan menjadi cita-cita perjuangan bersama. Begitupun saat Khilafah Islam runtuh, muslim Nusantara turut tergerak untuk menegakkan kembali Khilafah Islam.
Realita sejarah ini bukanlah dalil atau pebenaran ataupun penolakan bagi perjuangan penegakkan Khilafah di masa ini dan masa yang akan datang. Ia hanya suatu realita yang harus dibaca apa adanya dan tidak harus ditutup-tutupi. Yang terpenting saat ini adalah realita ini harus dipahami dengan pemahaman Islam yang lurus dengan sifat adil dan mendalam.
Eksistensi sejarah umat Islam Nusantara dalam memperjuangkan khilafah telah diamini oleh para sejarawan Indonesia maupun Barat. Diantaranya adalah apa yang dinyatakan oleh Prof. Deliar Noer, Prof. Aqib Suminto, dan Martin van Bruinessen dalam tulisan akademis mereka. Deliar Noer dalam disertasinya, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942 (Cornell University, 1962), menyatakan bahwa umat Islam di Indonesia tidak hanya berminat dalam masalah khilafah, tetapi juga merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Lalu Aqib Suminto dalam disertasinya, Politik Islam Hindia Belanda (IAIN Jakarta, 1985), menuturkan tentang pengaruh Pan-Islamisme di Indonesia dalam perjuangan khilafah saat itu. Dia menyatakan ada kaitan yang erat antara paham Pan-Islamisme dan jabatan Khalifah karena Khalifah merupakan simbol persatuan ummat Islam di seluruh belahan dunia. Hal senada juga diungkapkan oleh seorang orientalis Belanda, Martin van Bruinessen, dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul Muslim of Dutch East Indies and The Caliphate Question (Studia Islamika, 1995). Peristiwa penghapusan Turki Usmani yang kemudian disusul seruan ulama al-Azhar untuk memilih khalifah baru, dan penaklukan Hijaz oleh Ibn Sa’ud, mendapatkan antusiasme yang sangat besar dari umat Islam Indonesia sehingga menimbulkan pergerakan yang masif di Indonesia. Menurut arsip Pemerintah Kerajaan Belanda, seperti dikutip van Bruinessen, hal itu bahkan dianggap sebagai “sebuah tonggak bersejarah dalam pergerakan umat Islam di negeri ini”.
Dalam dinamika sejarah umat Islam di Indonesia pada permulaan abad ke-20, terlihat bahwa perjuangan khilafah merupakan bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Tidak lama setelah Khilafah Turki Usmani diruntuhkan, sejumlah besar dari bangsa Indonesia yang terdiri dari para ulama, tokoh pergerakan Islam, serta elemen ummat Islam lainnya terlibat dalam perjuangan ini. Mereka merasa berkewajiban untuk memperbincangkan dan mencari penyelesaian dalam rangka membentuk khilafah baru.
Pada Desember 1924 di Surabaya diadakan sebuah pertemuan yang dikenal denganKongres Al-Islam Luar Biasa. Kongres ini memang sangat luar biasa karena dihadiri oleh 68 organisasi Islam yang mewakili pusat maupun cabang juga dihadiri ulama-ulama dan ribuan umat Islam yang lain. Mereka yang hadir menyepakati sebuah rumusan khilafah yang baru. Rumusan tersebut yakni:
1. Agar dibentuk suatu Majelis Khilafah yang melaksanakan kekuasaan dan kewajiban khalifah atas dasar hukum-hukum Qur’an dan Hadits
2. Kepala Majelis mengatur, menjaga, dan mengupayakan terlaksananya keputusan-keputusan Majelis
3. Kepala Majelis dipilih oleh Majelis berdasrkan Syari’ah yang disetujui atasnya dalam permusyawaratan khilafah kemudian pemilihan tersebut diumumkan agar mendapat pengakuan dari seluruh umat Islam di dunia
4. Majelis Khilafah mengupayakan persamaan paham dan peraturan bagi segala perkara hukum Islam
5. Majelis Khilafah hendaklah berada di Mekkah
6. Tentang biaya untuk Majelis Khilafah bersama-sama perlu ditemukan kesepakatan dengan umat Islam yang lain atas hal ini.
Sikap mereka ini tidak terlepas dari pengaruh Pan-Islamisme. Cita-cita persatuan Islam dalam satu pemerintahan Islam yang merdeka menjadi sebuah harapan besar bagi mereka yang saat itu hidup dibawah penjajahan bangsa asing dan kafir. Untuk beberapa waktu cita-cita internasional ini masih tetap bertahan hingga kemudian mereka melupakannya dan mengalihkan perhatian mereka kepada cita-cita nasionalisme yakni menuju negara bangsa yang merdeka. Sejak saat itu perjuangan khilafah berangsur-angsur hilang tergantikan oleh perjuangan nasionalisme.
Dilupakannya persoalan khilafah oleh ummat Islam Indonesia dikarenakan terjadinya perubahan orientasi perjuangan sejumlah pergerakan pada masa itu. NU, Muhammadiyyah, dan Al-Irsyad lebih memfokus perjuangan mereka ke bidang sosial dan pendidikan. Selain itu, perselisihan paham yang telah lama terjadi di antara kelompok pembaharu yang diwakili Muhamadiyyah dan Al-Irsyad, dengan kelompok tradisional (NU), kian meruncing sehingga persoalan khilafah yang semula menjadi perjuangan bersama pada akhirnya ditinggalkan.
Penyebab yang lain, Sarekat Islam yang paling konsen dalam menjaga persatuan umat Islam di Indonesia sudah tidak berkharisma lagi dihadapan umat Islam yang lain setelah Sarekat Islam justru ikut terjerat dalam perselisihan internal umat Islam. Sejak saat itu perjuangan Sarekat Islam sudah tidak lagi mewakili aspirasi politik umat Islam di Indonesia. Mereka juga tidak bisa lagi mengklaim sebagai pelopor gerakan nasional setelah ada PNI yang menggantikan posisi mereka dengan gagasan nasionalismenya. Selain itu sokongan dunia Islam terhadap persoalan khilafah yang menghilang, akibat konspirasi Barat, mengakibatkan Sarekat Islam meninggalkan perjuangan khilafah dan mengalihkannya pada perjuangan Islam dalam konteks kebangsaan.
Setelah menelusuri realita Sejarah Indonesia, dapat ditemui ternyata Nusantara memiliki hubungan yang panjang dan luas dengan kekuasaan Khilafah di Timur Tengah. Pada setiap pembabakan Sejarah Indonesia didapati bahwa Khilafah Islam memiliki pengaruh politik-keagamaan di Nusantara. Pada zaman kerajaan Hindu-Budha ternyata Khilafah mendapat pengakuan dari raja-raja. Kemudian pada zaman Kesultanan, banyak penguasa Muslim yang mengidentikan kekuasaan mereka dengan Khilafah Islam. Pada zaman penjajahan Eropa, militer Khilafah telah sampai di Nusantara dan membantu Muslim Nusantara melawan serangan Eropa. Terlebih pada saat zaman pergerakan nasional, pengaruh Pan-Islamisme yang dicetuskan Sultan Abdul Hamid telah menggerakan Muslim di Nusantara dan menjadi cita-cita perjuangan bersama. Begitupun saat Khilafah Islam runtuh, muslim Nusantara turut tergerak untuk menegakkan kembali Khilafah Islam.
Realita sejarah ini bukanlah dalil atau pebenaran ataupun penolakan bagi perjuangan penegakkan Khilafah di masa ini dan masa yang akan datang. Ia hanya suatu realita yang harus dibaca apa adanya dan tidak harus ditutup-tutupi. Yang terpenting saat ini adalah realita ini harus dipahami dengan pemahaman Islam yang lurus dengan sifat adil dan mendalam.
0 komentar:
Post a Comment