Telah
lama ‘Nusantara’ menjadi sebutan yang popular untuk menunjukan kawasan
Indonesia saat ini. Sebuah kawasan yang terdiri dari beribu-ribu pulau
yang dihubungkan dengan laut dan sejak berabad-abad silam telah menjadi
jalur perdagangan laut internasioanl. Sebab posisinya sebagai bagian
jalur perdagangan ini, Nusantara memiliki akses yang mudah dengan dunia
luar serta tentu terlibat dalam interaksi internasional sehingga
mendapat banyak pengaruh dari peradaban sekitarnya.
Segenap
peradaban yang berdiri kokoh di luar akan masuk dan mengubah sistem
kehidupan di Nusantara. Tak terkecuali dengan peradaban Islam yang sejak
abad ke 6 M tengah tumbuh di Timur Tengah tepatnya di sebelah sisi
barat Nusantara. Interaksi Nusantara dengan kawasan Timur Tengah sudah
pernah ada sejak Islam pertama kali muncul. Pada awalnya interaksi
tersebut lebih berbentuk relasi ekonomi dan perdagangan, namun pada saat
Timur Tengah telah berada dalam kekuasaan Khilafah Islam, relasi
tersebut meluas menjadi relasi politik-keagamaan dan intelektual.
Makalah
ini akan membahas relasi politik-keagamaan antara penguasa pribumi
Nusantara dan penguasa Khilafah Islam ditinjau dari sudut Indonesia
sentris dan mengikuti pembabakan (kronologi) sejarah Indonesia.
Pembahasan tersebut akan dikupas sejauh sumber sejarah yang telah
penulis temukan dalam bentuk buku sekunder maupun jurnal ilmiah. Melalui
pembahasan ini diharapkan akan tergambar eksistensi dan pengaruh
Khilafah Islam dalam sejarah Indonesia, mengingat hal ini penting untuk
selalu diungkap pada saat ini untuk menghadang arus de-Islamisasi
sejarah Indonesia.
Korespondensi dan Pengakuan
Hubungan
antara Nusantara dengan Timur Tengah melibatkan sejarah yang panjang.
Kontak paling awal antara kedua wilyah ini, khususnya berkaitan dengan
perdagangan, bermula sejak masa Phunisia dan Saba’. Kehadiran Muslim
Timur Tengah ke Nusantara pada masa-masa awal pertama kali disebutkan
oleh agawan dan pengembara terkenal Cina, I-Tsing yang pada 51 H/617 M.
sampai ke Palembang yang merupakan ibu kota kerajaan Buddha Sriwijaya.
Mereka yang berada di Nusantara merupakan para pedagang yang kaya dan
memiliki kekuatan ekonomi. Dalam padangan Azyumardi Azra, interaksi
mereka di Palembang ini yang merupakan salah satu factor penting
pendorong raja Sriwijaya mengirim surat kepada Khalifah Bani Abasiyah.
Ketika
Khilafah diperintah Bani Umayyah (660-749 M), sejumlah wilayah di
Nusantara masih berada dalam kekuasaan Kerajaan Hindu-Budha . Kerajaan
Sriwijaya merupakan kerajaan Budha di Nusantara yang tercatat memberikan
pengakuan terhadap kebesaran Khalifah. Pengakuan ini dibuktikan dengan
adanya dua pucuk surat yang dikirim oleh raja Sriwijaya kepada Khalifah
di zaman Bani Umayyah. Surat pertama dikirim kepada Mu’awiyah, dan surat
kedua dikirim kepada ‘Umar bin “Abd al-‘Aziz.
Surat
pertama ditemui dalam sebuah diwan (sekretaris) Mua’awiyah dan memiliki
gaya tipikal surat-surat resmi penguasa Nusantara. Diriwayatkan
pembukaan surat tersebut:
“(Dari Raja al-Hind – atau
tepatnya Kepulauan India) yang kandang binatangnya berisikan seribu
gajah, (dan) yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani
seribu putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar (Batanghari
dan Musi), yang mengairi pohon gahana (aloes), kepada Mu’awiyah…”
Surat
kedua, yang mempunyai nada yang sama, jauh lebih lengkap. Surat yang
ditunjukan kepada Khalifah ‘Umar bin “Abd al-‘Aziz itu menunjukkan
betapa hebatnya Maharaja dan kerajaannya:
“Nu’aym bin
Hammad menulis: “Raja al-Hind (Kepulauan) mengirim sepucuk surat kepada
‘Umar bin “Abd al-‘Aziz, yang berbunyi sebagai berikut: “Dari Raja
Diraja (Malik al-Malik = maharaja); yang adalah keturunan seribu raja;
yang istrinya juga adalah anak cucu seribu raja; yang dalam kandang
binatangnya terdapat seribu gajah; yang wilayahnya terdapat dua sungai
yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus
yang semerbak wewangiannya sampai menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja
Arab (‘Umar bin “Abd al-‘Aziz), yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain
dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang
sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda
persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang
yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya
tentang hukum-hukumnya (atau di dalam versi lain, yang akan menjelaskan
Islam dan menjelaskannya kepada saya).”
Dari pemaparan
di atas dapat dipahami Khilafah Islam telah menunjukan eksistensinya di
Nusantara sejak masa Kerajaan Hindu-Budha atau sejak Khilafah itu
sendiri kokoh menjadi Negara yang menaungi berbagai bangsa di dunia.
Khilafah pun mendapatkan pengakuan dari raja Nusantara sehingga muncul
ketertarikan mereka kepada dakwah Islam. Hal ini yang pada perkembangan
selanjutnya menjadi faktor yang mengkonversi masyarakat di Nusantara
terutama di para penguasanya menjadi masyarkat Muslim dan muncul
pemerintahan baru bercorak kesultanan.
Bahasa Politik Islam
Meskipun
wilayah Muslim Asia Tenggara scara kultural kurang ter-arabisasi, bahasa
Arab memainkan peran penting dalam kehidupan social keagamaan kaum
Muslim. Berbagai suku di Nusantara mengadupsi peritilahan Arab ke dalam
kehidupan mereka. Sejumlah kosakata Arab yang ‘diadopsi masyarakat
Nusantara berkaitan dengan permasalahan politik. Untuk menyebut contoh
misalkan, daulat, sultan, khalifah, baiat, tadbir, harb, jihad, aman,
majlis, musyawarah, hukum, qanun, dsb. Penggunaan kosakata politik Islam
dapat dipastikan menjadi meluas ketika institusi politik Islam mulai
berdiri pada akhir abad’ ke-13. Dengan konversi penguasa ke Islam,
entitas politik yang selama ini dikenal sebagai ‘kerajaan” kini secara
resmi disebut “kesultanan”.
Sejumlah penguasa Muslim di
Nusantara mengusahakan legitimasi gelar sultan mereka dari penguasa
politik dan keagamaan di Timur Tengah. Penguasa Banten, Abd al-Qadir
(berkuasa 1625-1651), pada 1638 menerima anugerah gelar sultan dari
Syarif Mekkah. Pangeran Rangsang, penguasa Mataram, pada 1641
mengirimkan utusan ke Hijaz menghadap Syarif Mekkah, tanpa banyak tanya
Syarif langsung memberikan gelar sultan kepada Pangeran Rangsang, yang
selanjutnya lebih terkenal sebagai Sultan Agung. Begitu pula Kesultanan
Aceh, lalu Kesultanan Palembang dan Makassar, yang juga menjalin
hubungan khusus dengan penguasa Mekkah.
Berbagai sumber
telah menyebutkan tentang kegigihan sebagian penguasa Muslim Nusantara
untuk mendapatkan gelar sultan dari Kekhilafahan Islam di Timur Tengah,
yang diwakili oleh Syarif Mekkah. Hal ini bukan saja menunjukan hasrat
kuat mereka agar mendapatkan legitimasi tetapi juga mengisyaratkan
keinginan untuk mengasosiasikan diri dengan kekuasaan Khilafah Islam.
Dengan kata lain, entitas dan Muslim polities di kawasan Nusantara ingin
diakui sebagai bagian integral dari Daulah Islam. Contoh paling konkret
adalah Aceh yang secara resmi menyatakan kepada penguasa Turki Usmani
sebagai sebuah vassal state Kesultanan Utsmani.
Oleh
karena itu konsep politik dan kekuasaan di Nusantara pada periode ini
terkait erat dengan perkembangan Khilafah Islam di Timur Tengah. Konsep
ini segera menemukan tempat yang signifikan dalam tradisi dan kultural
politik di Nusantara. Untuk beberapa waktu kondisi ini tetap bertahan
hingga kemudian paradigma politik Islam di kawasan Nusantara merosot
setelah muncul periode kolonialisme di Nusantara yang diiringi
penyebaran gagasan-gagasan dan konsep politik alaBarat, seperti
Nasionalisme dan nation-state.
Penjaga Perjalanan Haji Nusantara
Keberadaan
Turki Utsmani sebagai khilafah Islam, terutama setelah berhasil
melakukan futuhat atas Konstantinopel, ibu kota Romawi Timur, pada 857
H/1453 M, menyebabkan nama Turki melekat di hati umat Islam Nusantara.
Nama yang terkenal bagi Turki di Nusantara ialah “Sultan Rum.” Istilah
“Rum” tersebar untuk menyebut Kesultanan Turki Utsmani. Mulai masa ini,
supremasi politik dan kultural Rum (Turki Utsmani) menyebar ke berbagai
wilayah Dunia Muslim, termasuk ke Nusantara.
Kekuatan
politik dan militer Khilafah Utsmaniyah mulai terasa di kawasan lautan
India pada awal abad ke-16. Sebagai khalifah kaum Muslim, Turki Utsmani
memiliki posisi sebagai khadimul haramayn (penjaga dua tanah haram,
yakni Makkah dan Madinah). Pada posisi ini, para Sultan Utsmani
mengambil langkah-langkah khusus untuk menjamin keamanan bagi perjalanan
haji. Turki Utsmani mengamankan rute haji dari wilayah sebelah Barat
Sumatera dengan menempatkan angkatan lautnya di Samudra Hindia.
Kehadiran angkataan laut Utsmani di Lautan Hindia setelah 904 H/1498 M
tidak hanya mengamankan perjalanan haji bagi umat Islam Nusantara,
tetapi juga mengakibatkan semakin besarnya saham Turki dalam perdagangan
di kawasan ini.
Bantuan Militer
Ketika
Sultan Ala Al-Din Riayat Syah Al-Qahhar naik tahta di Aceh pada tahun
943 H/1537 M, ia kelihatan menyadari kebutuhan Aceh untuk meminta
bantuan militer kepada Turki. Bukan hanya untuk mengusir Portugis di
Malaka, tetapi juga untuk melakukan futuhat ke wilayah-wilayah yang
lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak.
Al-Kahar menggunakan pasukan Turki, Arab dan Abesinia. Pasukan Turki
sebanyak 160 orang ditambah 200 orang tentara dari Malabar, mereka
membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Selanjutnya dikerahkan
Al-Kahhar untuk menaklukkan wilayah Batak di pedalaman Sumatera pada
tahun 946 H/1539 M. Mendez Pinto, yang mengamati perang antara pasukan
Aceh dengan Batak, melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando
seorang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasya Utsmani di Kairo.
Nur
Al-Din Al-Raniri dalam Bustan Al-Salathin meriwayatkan, Sultan Ala
Al-Din Riayat Syah Al-Qahhar mengirim utusan ke Istanbul untuk menghadap
“Sultan Rum”. Utusan ini bernama Huseyn Effendi yang fasih berbahasa
Arab. Pada Juni 1562 M, utusan Aceh tersebut tiba di Istanbul untuk
meminta bantuan militer Utsmani guna menghadapi Portugis. Ketika duta
itu berhasil lolos dari serangan Portugis dan sampai di Istanbul, ia
berhasil mendapat bantuan Turki, yang menolong Aceh membangkitkan
kebesaran militernya sehingga memadai untuk menaklukkan Aru dan Johor
pada 973 H/1564 M.
Hubungan Aceh dengan Turki Utsmani
terus berlanjut, terutama untuk menjaga keamanan Aceh dari serangan
Portugis. Penguasa Aceh berikutnya, Sultan Ala Al-Din Riayat Syah
(988-1013 H/1588-1604 M) juga dilaporkan telah melanjutkan pula
hubunghan politik dengan Turki. Dikatakan, Khilafah Utsmaniyah bahkan
telah mengirimkan sebuah bintang kehormatan kepada Sultan Aceh, dan
memberikan izin kepada kapal-kapal Aceh untuk mengibarkan bendera Turki.
Pan-Islamisme di Nusantara
Di
saat Khilafah Islamiyah berada pada masa sulit, di mana beberapa
daerahnya mulai hendak diduduki oleh kaum penjajah, muncullah upaya
untuk terus mengokohkan persatuan Islam yang dimotori oleh Sultan Abdul
Hamid II. Beliau menyatakan, “Kita wajib menguatkan ikatan kita dengan
kaum Muslim di belahan bumi yang lain. Kita wajib saling mendekat dan
merapat dalam intensitas yang sangat kuat. Sebab, tidak ada harapan lagi
di masa depan kecuali dengan kesatuan ini.” Inilah gagasan yang kelak
dikenal sebagai Pan-Islamisme. Upaya penguatan kesatuan Islam pun sampai
ke Indonesia (Hindia Belanda).
Upaya pengokohan
penyatuan ini terus dilakukan. Hingga tahun 1904 telah ada 7 sampai 8
konsul (‘utusan’ pen.) yang pernah ditempatkan Khilafah Utsmaniyah di
Hindia Belanda. Diantara aktivitas para konsul ini adalah
membagi-bagikan mushaf al-Quran atas nama sultan, dan pencetakan
karya-karya theologi Islam dalam bahasa Melayu yang dicetak di Istambul.
Di antara kitab tersebut adalah tafsir al-Quran yang di halaman
judulnya menyebut “Sultan Turki Raja semua orang Islam”. Istilah Raja di
sini sebenarnya mengacu pada kata al-Malik yang berarti penguasa, dan
semua orang Islam mengacu pada istilah Muslimin. Jadi, sebutan tersebut
menunjukkan deklarasi dari sang Khalifah bahwa beliau adalah penguasa
kaum Muslim sedunia. Hal ini menunjukkan bahwa khilafah Utsmaniyah terus
berupaya untuk menyatukan kesultanan Melayu ke dalamnya, termasuk
melalui penyebaran al-Quran.
Sebagai respon terhadap
gerakan penyatuan Islam oleh Khilafah Utsmaniyah ini, di Hindia Belanda
terdapat beberapa organisasi pergerakan Islam di Hindia Belanda yang
mendukung gerakan tersebut. Abu Bakar Atjeh menyebutkan di antara
organisasi tersebut adalah Jam’iyat Khoir yang didirikan pada 17 Juli
1905 oleh keturunan Arab. Karangan-karangan pergerakan Islam ini di
Hindia Belanda dimuat dalam surat-surat kabar dan majalah di Istambul,
di antaranya majalah Al-Manar. Khalifah Abdul Hamid II yang tinggal di
Istambul pun pernah mengirimkan utusannya ke Indonesia, bernama Ahmed
Amin Bey, atas permintaan dari perkumpulan tersebut untuk menyelidiki
keadaan kaum Muslim di Indonesia. Akibatnya, pemerintah kolonial Hindia
Belanda menetapkan pelarangan bagi orang-orang Arab mendatangi beberapa
daerah tertentu.
Organisasi pergerakan Islam lain yang
muncul sebagai respon positif terhadap penyatuan ini adalah Sarikat
Islam. Peristiwa dikibarkannya bendera Turki Utsmani pada Kongres
Nasional Sarikat Islam di Bandung pada tahun 1916, sebagai simbol
solidaritas sesama muslim dan penentangan terhadap penjajahan,
menunjukkan hal tersebut. Pada masa itu, salah satu usaha yang dilakukan
Khilafah Ustmaniyah adalah menyebarkan seruan jihad dengan
mengatasnamakan khalifah kepada segenap umat Islam, termasuk Indonesia,
yang dikenal sebagai Jawa.
Respon atas Keruntuhan Khilafah
Pada
permulaan tahun 1920 Khilafah Usmani menemui babak baru. Setelah Turki
dikuasai Musatafa Kemal, Turki diubah menjadi sebuah negara republic
yang sekuler dan tidak hanya itu bahkan ia mengumumkan penghapusan
kekhilafahan Islam di Turki. Peristiwa tersebut segera mengejutkan dunia
Islam dan membawa respon sejumlah umat Islam untuk mewujudkan kembali
Khilafah Islam yang akan menyatukan mereka dan menerapkan hukum-hukum
Islam. Oleh karenanya di berbagai tempat, termasuk di Nusantara, mulai
dibicarakan ide pernegakkan khilafah kembali.
Eksistensi
sejarah umat Islam Nusantara dalam memperjuangkan khilafah telah
diamini oleh para sejarawan Indonesia maupun Barat. Diantaranya adalah
apa yang dinyatakan oleh Prof. Deliar Noer, Prof. Aqib Suminto, dan
Martin van Bruinessen dalam tulisan akademis mereka. Deliar Noer dalam
disertasinya, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942
(Cornell University, 1962), menyatakan bahwa umat Islam di Indonesia
tidak hanya berminat dalam masalah khilafah, tetapi juga merasa
berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Lalu Aqib
Suminto dalam disertasinya, Politik Islam Hindia Belanda (IAIN Jakarta,
1985), menuturkan tentang pengaruh Pan-Islamisme di Indonesia dalam
perjuangan khilafah saat itu. Dia menyatakan ada kaitan yang erat antara
paham Pan-Islamisme dan jabatan Khalifah karena Khalifah merupakan
simbol persatuan ummat Islam di seluruh belahan dunia. Hal senada juga
diungkapkan oleh seorang orientalis Belanda, Martin van Bruinessen,
dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul Muslim of Dutch East Indies and The
Caliphate Question (Studia Islamika, 1995). Peristiwa penghapusan Turki
Usmani yang kemudian disusul seruan ulama al-Azhar untuk memilih
khalifah baru, dan penaklukan Hijaz oleh Ibn Sa’ud, mendapatkan
antusiasme yang sangat besar dari umat Islam Indonesia sehingga
menimbulkan pergerakan yang masif di Indonesia. Menurut arsip Pemerintah
Kerajaan Belanda, seperti dikutip van Bruinessen, hal itu bahkan
dianggap sebagai “sebuah tonggak bersejarah dalam pergerakan umat Islam
di negeri ini”.
Dalam dinamika sejarah umat Islam di
Indonesia pada permulaan abad ke-20, terlihat bahwa perjuangan khilafah
merupakan bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Tidak lama setelah
Khilafah Turki Usmani diruntuhkan, sejumlah besar dari bangsa Indonesia
yang terdiri dari para ulama, tokoh pergerakan Islam, serta elemen
ummat Islam lainnya terlibat dalam perjuangan ini. Mereka merasa
berkewajiban untuk memperbincangkan dan mencari penyelesaian dalam
rangka membentuk khilafah baru.
Pada Desember 1924 di
Surabaya diadakan sebuah pertemuan yang dikenal denganKongres Al-Islam
Luar Biasa. Kongres ini memang sangat luar biasa karena dihadiri oleh 68
organisasi Islam yang mewakili pusat maupun cabang juga dihadiri
ulama-ulama dan ribuan umat Islam yang lain. Mereka yang hadir
menyepakati sebuah rumusan khilafah yang baru. Rumusan tersebut yakni:
1.
Agar dibentuk suatu Majelis Khilafah yang melaksanakan kekuasaan dan
kewajiban khalifah atas dasar hukum-hukum Qur’an dan Hadits
2. Kepala Majelis mengatur, menjaga, dan mengupayakan terlaksananya keputusan-keputusan Majelis
3.
Kepala Majelis dipilih oleh Majelis berdasrkan Syari’ah yang disetujui
atasnya dalam permusyawaratan khilafah kemudian pemilihan tersebut
diumumkan agar mendapat pengakuan dari seluruh umat Islam di dunia
4. Majelis Khilafah mengupayakan persamaan paham dan peraturan bagi segala perkara hukum Islam
5. Majelis Khilafah hendaklah berada di Mekkah
6. Tentang biaya untuk Majelis Khilafah bersama-sama perlu ditemukan kesepakatan dengan umat Islam yang lain atas hal ini.
Sikap
mereka ini tidak terlepas dari pengaruh Pan-Islamisme. Cita-cita
persatuan Islam dalam satu pemerintahan Islam yang merdeka menjadi
sebuah harapan besar bagi mereka yang saat itu hidup dibawah penjajahan
bangsa asing dan kafir. Untuk beberapa waktu cita-cita internasional ini
masih tetap bertahan hingga kemudian mereka melupakannya dan
mengalihkan perhatian mereka kepada cita-cita nasionalisme yakni menuju
negara bangsa yang merdeka. Sejak saat itu perjuangan khilafah
berangsur-angsur hilang tergantikan oleh perjuangan nasionalisme.
Dilupakannya
persoalan khilafah oleh ummat Islam Indonesia dikarenakan terjadinya
perubahan orientasi perjuangan sejumlah pergerakan pada masa itu. NU,
Muhammadiyyah, dan Al-Irsyad lebih memfokus perjuangan mereka ke bidang
sosial dan pendidikan. Selain itu, perselisihan paham yang telah lama
terjadi di antara kelompok pembaharu yang diwakili Muhamadiyyah dan
Al-Irsyad, dengan kelompok tradisional (NU), kian meruncing sehingga
persoalan khilafah yang semula menjadi perjuangan bersama pada akhirnya
ditinggalkan.
Penyebab yang lain, Sarekat Islam yang
paling konsen dalam menjaga persatuan umat Islam di Indonesia sudah
tidak berkharisma lagi dihadapan umat Islam yang lain setelah Sarekat
Islam justru ikut terjerat dalam perselisihan internal umat Islam. Sejak
saat itu perjuangan Sarekat Islam sudah tidak lagi mewakili aspirasi
politik umat Islam di Indonesia. Mereka juga tidak bisa lagi mengklaim
sebagai pelopor gerakan nasional setelah ada PNI yang menggantikan
posisi mereka dengan gagasan nasionalismenya. Selain itu sokongan dunia
Islam terhadap persoalan khilafah yang menghilang, akibat konspirasi
Barat, mengakibatkan Sarekat Islam meninggalkan perjuangan khilafah dan
mengalihkannya pada perjuangan Islam dalam konteks kebangsaan.
Setelah menelusuri realita Sejarah Indonesia, dapat ditemui
ternyata Nusantara memiliki hubungan yang panjang dan luas dengan
kekuasaan Khilafah di Timur Tengah. Pada setiap pembabakan Sejarah
Indonesia didapati bahwa Khilafah Islam memiliki pengaruh
politik-keagamaan di Nusantara. Pada zaman kerajaan Hindu-Budha ternyata
Khilafah mendapat pengakuan dari raja-raja. Kemudian pada zaman
Kesultanan, banyak penguasa Muslim yang mengidentikan kekuasaan mereka
dengan Khilafah Islam. Pada zaman penjajahan Eropa, militer Khilafah
telah sampai di Nusantara dan membantu Muslim Nusantara melawan serangan
Eropa. Terlebih pada saat zaman pergerakan nasional, pengaruh
Pan-Islamisme yang dicetuskan Sultan Abdul Hamid telah menggerakan
Muslim di Nusantara dan menjadi cita-cita perjuangan bersama. Begitupun
saat Khilafah Islam runtuh, muslim Nusantara turut tergerak untuk
menegakkan kembali Khilafah Islam.
Realita sejarah ini bukanlah
dalil atau pebenaran ataupun penolakan bagi perjuangan penegakkan
Khilafah di masa ini dan masa yang akan datang. Ia hanya suatu realita
yang harus dibaca apa adanya dan tidak harus ditutup-tutupi. Yang
terpenting saat ini adalah realita ini harus dipahami dengan pemahaman
Islam yang lurus dengan sifat adil dan mendalam.